BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kerajaan Mataram Islam merupakan salah satu
kerajaan islam terbersar yang ada ditanah air khususnya di pulau jawa. Kerajaan
Mataram adalah kerajaan Islam terbesar di Jawa yang hingga kini masih mampu
bertahan melewati masa-masa berakhirnya kekuasaan kolonial Belanda di
Indonesia, walaupun dalam wujud yang berbeda dengan terbaginya kerajaan ini
menjadi empat pemerintahan swa-praja, yaitu Kasunanan Surakarta,
sejak runtuhnya dua kerajaan itu, Mataramlah yang hingga puluhan tahun tetap
eksis dan memiliki banyak kisah dan mitos yang selalu menyertai
perkembangannya. Paling tidak Mataram berkembang dengan diringi oleh mitos
perebutan kekuasaan yang panjang. Karena itu informasi tentang kerajaan mataram
islam tidak begitu sulit kita dapat karena hingga saat ini kerajaan tersebut
masih eksis di tanah Jawa walaupun dengan konteks yang berbeda.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
sejarah berdirinya Kerajaan Mataram Islam ?
2.
Dimana
letak Kerjaan Mataram Islam ?
3.
Bagaimana
bentuk sistem pemerintahan Kerajaan Mataram Islam ?
4.
Bagaimana
kehidupan ekonomi dan kehidupan Politik Kerjaan Mataram Islam ?
5.
Bagaimana
Kehidupan sosial dan budaya Kerajaan Mataram Islam ?
6.
Apa
yang menyebabkan Terpecahnya Kerajaan Mataram Islam ?
7.
Apa
saja yang dilakukan Kerajaan Mataram Islam untuk memperluas wilayah Kerajaannya
?
8.
Apa
saja peristiwa penting yang terjadi dengan Kerajaan Mataram Islam ?
9.
Apa
yang menyebabkan runtuhnya Kerajaan Mataram Islam dan apa saja Peninggalan –
peninggalannya ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
lebih dalam tentang Kerajaan Mataram Islam.
2.
Mengetahui
letak dari Kerajaan Mataram Islam, dan bentuk sistem pemerintahannya.
3.
Mengetahui
perkembangan kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya rakyat
Kerajaan Mataram Islam.
4.
Mengetahui
bagaimana cara memperluas wilayah dan penyebab terpecahnya Kerajaan Mataram
Islam.
5.
Mengetahui
peristiwa – peristiwa penting tentang Kerajaan Mataram Islam.
6.
Mengetahui
penyebab runtuhnya dan peninggalan – peninggalan Kerajaan Mataram Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Berdirinya
Kerajaan Mataram Islam
Kerajaan Mataram berdiri pada tahun 1582.
Pusat kerajaan ini terletak di sebelah tenggara kota Yogyakarta, yakni di
Kotagede. Awal berdirinya yaitu setelah kerajaan Demak runtuh, kerajaan Pajang
merupakan satu-satunya kerajaan di Jawa Tengah. Namun demikian raja Pajang
masih mempunyai musuh yang kuat yang berusaha menghancurkan kerajaannya, ialah
seorang yang masih keturunan keluarga kerajaan Demak yang bernama Arya
Penangsang. Raja kemudian membuat sebuah sayembara bahwa barang siapa
mengalahkan Arya Penangsang atau dapat membunuhnya, akan diberi hadiah tanah di
Pati dan Mataram. Ki Pemanahan dan Ki Penjawi yang merupakan abdi prajurit
Pajang berniat untuk mengikuti sayembara tersebut. Di dalam peperangan akhirnya
Danang Sutwijaya berhasil mengalahkan dan membunuh Arya Penangsang. Sutawijaya
adalah anak dari Ki Pemanahan, dan anak angkat dari raja Pajang sendiri. Namun
karena Sutawijaya adalah anak angkat Sultan sendiri maka tidak mungkin apabila
Ki Pemanahan memberitahukannya kepada Sultan Adiwijaya. Sehingga Kyai Juru
Martani mengusulkan agar Ki Pemanahan dan Ki Penjawi memberitahukan kepada
Sultan bahwa merekalah yang membunuh Arya Penangsang. Ki Ageng Pemanahan
memperoleh tanah di Hutan Mentaok dan Ki Penjawi memperoleh tanah di Pati.
Pemanahan berhasil membangun hutan Mentaok
itu menjadi desa yang makmur, bahkan lama-kelamaan menjadi kerajaan kecil yang
siap bersaing dengan Pajang sebagai atasannya. Setelah Pemanahan meninggal pada
tahun 1575 ia digantikan putranya, Danang Sutawijaya, yang juga sering disebut
Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Sutawijaya kemudian berhasil memberontak kepada
Pajang. Setelah Sultan Hadiwijaya wafat (1582) Sutawijaya mengangkat diri
sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senapati. Pajang kemudian dijadikan
salah satu wilayah bagian dari Mataram yang beribukota di Kotagede. Senopati
bertahta sampai wafatnya pada tahun 1601. Selama pemerintahannya boleh
dikatakan terus-menerus berperang menundukkan bupati-bupati daerah. Kasultanan
Demak menyerah, Panaraga, Pasuruan, Kediri, Surabaya, berturut-turut direbut.
Cirebon pun berada di bawah pengaruhnya. Panembahan Senopati dalam babad dipuji
sebagai pembangun Mataram.
B.
Letak
Kerajaan Mataram Islam
Kerajaan
Mataram berdiri pada
tahun 1582. Pusat kerajaan ini terletak di sebelah tenggara kota Yogyakarta,
yakni di Kotagede. Dalam sejarah Islam, Kerajaan
Mataram Islam memiliki
peran yang cukup penting dalam perjalanan secara kerajaan-kerajaan Islam di
Nusantara. Hal ini terlihat dari semangat raja-raja untuk memperluas daerah
kekuasaan dan mengIslamkan para penduduk daerah kekuasaannya, keterlibatan para
pemuka agama, hingga pengembangan kebudayaan yang bercorak Islam di jawa. Dinasti Mataram
Islam sesungguhnya
berawal dari keluarga petani, begitulah yang tertulis pada Babad Tanah Jawi. Kisahnya
Ki Gede Pamanahan mendirikan desa kecil di
Alas Mentaok (alas= hutan) yang kemudian menjadi sebuah kota yang semakin ramai
dan makmur hingga disebut Kota Gede (kota besar). Disana lalu di bangun benteng
dalam (cepuri) yangmengelilingi kraton dan benteng luar (baluwarti) yang
mengelilingi wilayah kota seluas ± 200 ha. Sisi luar kedua benteng ini juga di
lengkapi dengan parit pertahanan yang lebar seperti sungai.
Wilayah
kekuasaan Mataram mencapai Jawa Barat (kecuali Banten), Jawa Tengah, Jawa Timur,
Sukadana (Kalimantan Selatan), Nusa Tenggara. Palembang dan Jambi pun
menyatakan vasal kepada Mataram.
C.
Sistem
pemerintahan Kerajaan Mataram Islam
Setelah Panembahan Senopati meninggal
kekuasaannya digantikan oleh anaknya yang bernama Mas Jolang atau Panembahan
Seda Krapyak. Jolang hanya memerintah selama 12 tahun (1601-1613), tercatat
bahwa pada pemerintahannya beliau membangun sebuah taman Danalaya di sebelah
barat kraton. Pemerintahannya berakhir ketika beliau meninggal di hutan Krapyak
ketika beliau sedang berburu. Selanjutnya bertahtalah Mas Rangsang, yang
bergelar Sultan Agung Hanyakrakusuma. Di bawah pemerintahannya (tahun
1613-1645) Mataram mengalami masa kejayaan. Ibukota kerajaan Kotagede
dipindahkan ke Kraton Plered. Sultan Agung juga menaklukkan daerah pesisir
supaya kelak tidak membahayakan kedudukan Mataram. Beliau juga merupakan
penguasa yang secara besar-besaran memerangi VOC yang pada saat itu sudah
menguasai Batavia. Karya Sultan Agung dalam bidang kebudayaan adalah Grebeg
Pasa dan Grebeg Maulud. Sultan Agung meninggal pada tahun 1645
Ia diganti oleh putranya yang bergelar
Amangkurat I. Amangkurat I tidak mewarisi sifat-sifat ayahnya. Pemerintahannya
yang berlangsung tahun 1645-1676 diwarnai dengan banyak pembunuhan dan
kekejaman. Pada masa pemerintahannya ibukota kerajaan Mataram dipindahkan ke
Kerta. Pada tahun 1674 pecahlah Perang Trunajaya yang didukung para ulama dan
bangsawan, bahkan termasuk putra mahkota sendiri. Ibukota Kerta jatuh dan
Amangkurat I (bersama putra mahkota yang akhirnya berbalik memihak ayahnya)
melarikan diri untuk mencari bantuan VOC. Akan tetapi sampai di Tegalarum,
(dekat Tegal, Jawa Tengah) Amangkurat I jatuh sakit dan akhirnya wafat.
Ia digantikan oleh putra mahkota yang
bergelar Amangkurat II atau dikenal juga dengan sebutan Sunan Amral. Sunan
Amangkurat II bertahta pada tahun 1677-1703. Ia sangat tunduk kepada VOC demi
mempertahankan tahtanya. Pada akhirnya Trunajaya berhasil dibunuh oleh
Amangkurat II dengan bantuan VOC, dan sebagai konpensasinya VOC menghendaki
perjanjian yang berisi: Mataram harus menggadaikan pelabuhan Semarang dan
Mataram harus mengganti kerugian akibat perang.
Setelah Sunan Amangkuat II meninggal
meninggal pada tahun 1703, Ia digantikan oleh anaknya yang bernama Sunan Mas
(Sunan Amangkurat III). Dia juga sangat menentang VOC. Karena pertentangan
tersebut VOC tidak setuju atas pengangkatan Sunan Amangkurat III sehingga VOC
mengangkat Paku Buwono I (Pangeran Puger). Pecahlah perang saudara (perang
perebutan mahkota I) antara Amangkurat III dan Paku Buwana I, namun Amangkurt
III menyerah dan dibuang ke Sailan oleh VOC. Paku Buwana I meninggal tahun 1719
dan diganti oleh Amangkurat IV (1719-1727). Dalam pemerintahannya dipenuhi
dengan pemberontakan para bangsawan yang menentangnya, dalam hal ini VOC
kembali turut andil di dalamnya. Sehingga kembali pecah perang Perebutan
Mahkota II (1719-1723. Sunan Prabu atau Sunan Amangkurat IV meninggal tahun
1727 dan diganti oleh Paku Buwana II (1727-1749). Pada masa pemerintahannya
terjadi pemberontakan China terhadap VOC.
Paku Buwana II memihak China dan turut
membantu memnghancurkan benteng VOC di Kartasura. VOC yang mendapat bantuan
Panembahan Cakraningrat dari Madura berhasil menaklukan pemberontak China. Hal
ini membuat Paku Buwana II merasa ketakutan dan berganti berpihak kepada VOC.
Hal ini menyebabkan timbulnya pemberontakan Raden Mas Garendi yang bersama
pemberontak China menggempur kraton, hingga Paku Buwana II melarikan diri ke
Panaraga.
Dengan bantuan VOC kraton dapat direbut
kembali (1743) tetapi kraton telah porak poranda yang memaksanya untuk
memindahkan kraton ke Surakarta (1744). Setelah itu terjadi pemberontakan yang
dipimpin oleh Raden Mas Said. Paku Buwana menugaskan Mangkubumi untuk menumpas
kaum pemerontak dengan janji akan memberikan tanah di Sukowati (Sragen
sekarang). Walaupun Mangkubumi berhasil tetapi Paku Buwono II mengingkari
janjinya sehingga akhirnya dia berdamai dengan Mas Said. Mereka berdua pun
melakukan pemberontakan bersama-sama hingga pecah Perang Perebutan Mahkota III
(1747-1755).
Paku Buwana II tidak dapat menghadapi
kekuatan merea berdua dan akhirnya jatuh sakit dan meninggal pada tahun 1749.
Setelah kematian Paku Buwana II VOC mengangkat Paku Buwana III. Pengangkatan
Paku Buwana III tidak menyurutkan pemberontakan, bahkan wilayah yang dikuasai
Mangkubumi telah mencapai Yogya, Bagelen, dan Pekalongan. Namun justru saat itu
terjadi perpecahan anatara Mangkubumi dan Raden Mas Said. Hal ini menyebabkan
VOC berada di atas angin. VOC lalu mengutus seorang Arab dari Batavia (utusan
itu diakukan VOC dari Tanah Suci) untuk mengajak Mangkubumi berdamai.
Ajakan itu diterima Mangkubumi dan terjadilah
apa yang sering disebut sebagai Palihan Nagari atau Perjanjian Giyanti (1755).
Isi perjanjian tersebut adalah: Mataram dibagi menjadi dua. Bagian barat
dibagikan kepada Pangeran Mangkubumi yang diijinkan memakai gelar Hamengku
Buwana I dan mendirikan Kraton di Yogyakarta. Sedangkan bagian timur diberikan
kepada Paku Buwana III. Mulai saat itulah Mataram dibagi dua, yaitu Kasultanan Yogyakarta
dengan raja Sri Sultan Hamengku Buwana I dan Kasunanan Surakarta dengan raja
Sri Susuhunan Paku Buwana III. Raja-Raja Mataram Islam :
1 Panembahan
Senopati (1584-1601 M)
2 Mas
Jolang atau Seda Ing Krapyak (1601- 1613 M)
3 Mas
Rangsang bergelar Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1646 M)
4 Amangkurat
I (1646- 1676 M)
5 Amangkurat
II dikenal juga sebagai Sunan Amral (1677- 1703 M)
6 Sunan
Mas atau Amangkurat III pada 1703 M)
7 Pangeran
Puger yang bergelar Paku Buwana I (1703-1719 M)
8 Amangkurat
IVdikenal sebagai Sunan Prabu (1719-1727 M)
9 Paku
Buwana II (1727-1749 M)
10 Paku Buwana III
pada 1749 M pengangkatannya dilakukan oleh VOC.
11 Sultan Agung.
D.
Kehidupan
Ekonomi dan Politik Kerajaan Mataram Islam
a)
Kehidupan
Ekonomi
Letak kerajaan Mataram di pedalaman, maka
Mataram berkembang sebagai kerajaan agraris yang menekankan dan mengandalkan
bidang pertanian. Sekalipun demikian kegiatan perdagangan tetap diusahakan dan
dipertahankan, karena Mataram juga menguasai daerah-daerah pesisir. Dalam
bidang pertanian, Mataram mengembangkan daerah persawahan. Dalam bidang
pertanian, Mataram mengembangkan daerah persawahan yang luas terutama di Jawa
Tengah, yang daerahnya juga subur dengan hasil utamanya adalah beras, di
samping kayu, gula, kapas, kelapa dan palawija. Sedangkan dalam bidang
perdagangan, beras merupakan komoditi utama, bahkan menjadi barang ekspor
karena pada abad ke-17 Mataram menjadi pengekspor beras paling besar pada saat
itu. Dengan demikian kehidupan ekonomi Mataram berkembang pesat karena didukung
oleh hasil bumi Mataram yang besar.
b)
Kehidupan
Politik
Pendiri kerajaan Mataram adalah Sutawijaya.
Ia bergelar Panembahan Senopati, memerintah tahun (1586 – 1601). Pada awal
pemerintahannya ia berusaha menundukkan daerah-daerah seperti Ponorogo, Madiun,
Pasuruan, dan Cirebon serta Galuh. Sebelum usahanya untuk memperluas dan
memperkuat kerajaan Mataram terwujud, Sutawijaya digantikan oleh putranya yaitu
Mas Jolang yang bergelar Sultan Anyakrawati tahun 1601 – 1613.
Sebagai raja Mataram ia juga berusaha
meneruskan apa yang telah dilakukan oleh Panembahan Senopati untuk memperoleh
kekuasaan Mataram dengan menundukkan daerah-daerah yang melepaskan diri dari
Mataram. Akan tetapi sebelum usahanya selesai, Mas Jolang meninggal tahun 1613
dan dikenal dengan sebutan Panembahan Sedo Krapyak. Untuk selanjutnya yang
menjadi raja Mataram adalah Mas Rangsang yang bergelar Sultan Agung Senopati
ing alogo Ngabdurrahman, yang memerintah tahun 1613 – 1645. Sultan Agung
merupakan raja terbesar dari kerajaan ini. Pada masa pemerintahannya Mataram
mencapai puncaknya, karena ia seorang raja yang gagah berani, cakap dan
bijaksana.
Pada tahun 1625 hampir seluruh pulau Jawa
dikuasainya kecuali Batavia dan Banten. daerah-daerah tersebut dipersatukan oleh
Mataram antara lain melalui ikatan perkawinan antara adipati-adipati dengan
putri-putri Mataram, bahkan Sultan Agung sendiri menikah dengan putri Cirebon
sehingga daerah Cirebon juga mengakui kekuasaan Mataram.
Di samping mempersatukan berbagai daerah di
pulau Jawa, Sultan Agung juga berusaha mengusir VOC Belanda dari Batavia. Untuk
itu Sultan Agung melakukan penyerangan terhadap VOC ke Batavia pada tahun 1628
dan 1629 akan tetapi serangan tersebut mengalami kegagalan. Penyebab kegagalan
serangan terhadap VOC antara lain karena jarak tempuh dari pusat Mataram ke
Batavia terlalu jauh kira-kira membutuhkan waktu 1 bulan untuk berjalan kaki,
sehingga bantuan tentara sulit diharapkan dalam waktu singkat. Dan
daerah-daerah yang dipersiapkan untuk mendukung pasukan sebagai lumbung padi
yaitu Kerawang dan Bekasi dibakar oleh VOC, sebagai akibatnya pasukan Mataram
kekurangan bahan makanan. Dampak pembakaran lumbung padi maka tersebar wabah
penyakit yang menjangkiti pasukan Mataram, sedangkan pengobatan belum sempurna.
Hal inilah yang banyak menimbulkan korban dari pasukan Mataram. Di samping itu
juga sistem persenjataan Belanda lebih unggul dibanding pasukan Mataram.
E.
Kehidupan
Sosial dan Budaya Kerajaan Mataram Islam
Sebagai kerajaan yang bersifat agraris,
masyarakat Mataram disusun berdasarkan sistem feodal. Dengan sistem tersebut
maka raja adalah pemilik tanah kerajaan beserta isinya. Untuk melaksanakan
pemerintahan, raja dibantu oleh seperangkat pegawai dan keluarga istana, yang
mendapatkan upah atau gaji berupa tanah lungguh atau tanah garapan. Tanah
lungguh tersebut dikelola oleh kepala desa (bekel) dan yang menggarapnya atau
mengerjakannya adalah rakyat atau petani penggarap dengan membayar pajak/sewa
tanah. Dengan adanya sistem feodalisme tersebut, menyebabkan lahirnya tuan-tuan
tanah di Jawa yang sangat berkuasa terhadap tanah-tanah yang dikuasainya.
Sultan memiliki kedudukan yang tinggi juga dikenal sebagai panatagama yaitu
pengatur kehidupan keagamaan. Sedangkan dalam bidang kebudayaan, seni ukir,
lukis, hias dan patung serta seni sastra berkembang pesat. Hal ini terlihat
dari kreasi para seniman dalam pembuatan gapura, ukiran-ukiran di istana maupun
tempat ibadah. Contohnya gapura Candi Bentar di makam Sunan Tembayat (Klaten)
diperkirakan dibuat pada masa Sultan Agung.Contoh lain hasil perpaduan budaya
Hindu-Budha-Islam adalah penggunaan kalender Jawa, adanya kitab filsafat sastra
gending dan kitab undang-undang yang disebut Surya Alam. Contoh-contoh tersebut
merupakan hasil karya dari Sultan Agung sendiri. Di samping itu juga adanya
upacara Grebeg pada hari-hari besar Islam yang ditandai berupa kenduri Gunungan
yang dibuat dari berbagai makanan maupun hasil bumi. Upacara Grebeg tersebut
merupakan tradisi sejak zaman Majapahit sebagai tanda terhadap pemujaan nenek
moyang.
F.
Terpecahnya
Kerajaan Mataram Islam
Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke
Pleret (1647), tidak jauh dari Kerta. Selain itu, ia tidak lagi menggunakan
gelar sultan, melainkan "sunan" (dari "Susuhunan" atau
"Yang Dipertuan"). Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena
banyak ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada masanya, terjadi pemberontakan
besar yang dipimpin oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat bersekutu dengan VOC.
Ia wafat di Tegalarum (1677) ketika mengungsi sehingga dijuluki Sunan
Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II (Amangkurat Amral), sangat patuh pada
VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidak puas dan pemberontakan terus
terjadi. Pada masanya, kraton dipindahkan lagi ke Kartasura (1680), sekitar 5km
sebelah barat Pajang karena kraton yang lama dianggap telah tercemar.
Pengganti Amangkurat II berturut-turut adalah
Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I (1704-1719), Amangkurat IV
(1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak menyukai Amangkurat III
karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I (Puger) sebagai raja.
Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan perpecahan internal.
Amangkurat III memberontak dan menjadi "king in exile" hingga
tertangkap di Batavia lalu dibuang ke Ceylon.
Kekacauan politik baru dapat diselesaikan
pada masa Pakubuwana III setelah pembagian wilayah Mataram menjadi dua yaitu
Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta tanggal 13 Februari 1755.
Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti (nama diambil dari
lokasi penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar, Jawa Tengah).
Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah. Walaupun
demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan Yogyakarta dan
Kasunanan Surakarta.
G.
Usaha
– usaha Kerajaan Mataram Islam dalam perluasan wilayah
Mataram mencapai puncak kejayaan pada masa
pemerintahan Sultan Agung. Wilayah Mataram bertambah luas meliputi Jawa Tengah,
Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat. Sultan Agung di samping dikenal sebagai
raaja juga pemimpin agama. Kehidupan beragama mendapat perhatian dan
pengembangan yang sangat pesat. Sultan Agung dikenal juga sebagai pahlawan
nasional karena perannya dalam mengusir penjajah Belanda. Pengaruh Mataram
saampai ke Palembang, Jambi, Banjarmasin, dan ke timur sampai Gowa Makasar.
Pengaruh ini ditandai adanya hubungan kerja sama dan saling mengirim utusan
antara daerah-daerah tersebut dengan Mataram. Kemajuan yang dicapai pada masa
pemerintahan Sultan Agung meliputi kemajuan di bidang politik, ekonomi, sosial,
dan budaya.
a)
Bidang
Politik
Kemajuan politik yang dicapai Sultan Agung
adalah menyatukan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa dan menyerang Belanda di
Batavia.
b)
Penyatuan
kerajaan-kerajaan Islam
Sultan Agung berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Usaha ini
dimulai dengan menguasai Gresik, Jaratan, Pamekasan, Sumenep, Sampang,
Pasuruhan, kemudian Surabaya. Salah satu usahanya mempersatukan kerajaan Islam
di Pulau Jawa ini ada yang dilakukan dengan ikatan perkawinan. Sultan Agung
mengambil menantu Bupati Surabaya Pangeran Pekik dijodohkan dengan putrinya
yaitu Ratu Wandansari.
c)
Anti
penjajah Belanda
Sultan Agung adalah raja yang sangat benci terhadap penjajah Belanda. Hal ini
terbukti dengan dua kali menyerang Belanda ke Batavia, yaitu yang pertama tahun
1628 dan yang kedua tahun 1629. Kedua penyerangan ini mengalami kegagalan.
Adapun penyebab kegagalannya, antara lain:
1.
Jarak
yang terlalu jauh berakibat mengurangi ketahanan prajurit mataram. Mereka harus
menempuh jalan kaki selama satu bulan dengan medan yang sangat sulit.
2.
Kekurangan
dukungan logistik menyebabkan pertahanan prajurit Mataram di Batavia menjadi
lemah.
3.
Kalah
dalam sistem persenjataan dengan senjataa yang dimiliki kompeni Belanda yang
serba modern.
4.
Banyak
prajurit Mataram yang terjangkit penyakit dan meninggal, sehingga semakin
memperlemah kekuatan.
5.
Portugis
bersedia membantu Mataram dengan menyerang Batavia lewat laut, sedangkan
Mataram lewat darat. Ternyata Portugis mengingkari. Akhirnya Mataram dalam
menghadapai Belanda tanpa bantuan Portugis.
6.
Kesalahan
politik Sultan Agung yang tidak menadakan kerja sama dengan Banten dalam
menyerang Belanda. Waktu itu mereka saling bersaing.
7.
Sistem
koordinasi yang kurang kompak antara angkatan laut dengan angkatan darat.
Ternyata angkatan laut mengadakan penyerangan lebih awalm sehingga rencana
penyerangan Mataram ini diketahui Belanda.
8.
Akibat
penghianatan oleh salah seorang pribumi, sehingga rencana penyerangan ini diketahui
Belanda sebelumnya.
d)
Bidang
Ekonomi
Kemajuan dalam bidang ekonomi meliputi
hal-hal berikut ini:
1.
Sebagai
negara agraris, Mataram mampu meningkatkan produksi beras dengan memanfaatkan
beberapa sungai di Jawa sebagai irigasi. Mataram juga mengadakan pemindahan
penduduk (transmigrasi) dari daerah yang kering ke daerah yang subur dengan
irigasi yang baik. Dengan usaha tersebut, Mataram banyak mengekspor beras ke
Malaka.
2.
Penyatuan
kerajaan-kerajaan Islam di pesisir Jawa tidak hanya menambah kekuatan politik,
tetapi juga kekuatan ekonomi. Dengan demikian ekonomi Mataram tidak semata-mata
tergantung ekonomi agraris, tetapi juga karena pelayaran dan perdagangan.
e)
Bidang
Sosial dan Budaya
Kemajuan dalam bidang sosial budaya meliputi
hal-hal berikut:
1.
Timbulnya
kebudayaan kejawen
Unsur ini merupakan akulturasi dan asimilasi
antara kebudayaan asli Jawa dengan Islam. Misalnya upacara Grebeg yang semula
merupakan pemujaan roh nenek moyang. Kemudian, dilakukan dengan doa-doa agama
Islam. Saampai kini, di jawa kita kenal sebagai Grebeg Syawal, Grebeg Maulud
dan sebagainya.
2.
Perhitungan
Tarikh Jawa
Sultan Agung berhasil menyusun tarikh Jawa.
Sebelum tahun 1633 M, Mataram menggunakan tarikh Hindu yang didasarkan
peredaran matahari (tarikh syamsiyah). Sejak tahun 1633 M (1555 Hindu), tarikh
Hindu diubah ke tarikh Islam berdasarkan peredaran bulan (tarikh komariah).
Caranya, tahun 1555 diteruskan tetapi dengan perhitungan baru berdasarkan
tarikh komariah. Tahun perhitungan Sultan Agung ini kemudian dikenal sebagai
“tahun Jawa”.
3.
Berkembangnya
Kesusastraan Jawa
Pada zaman kejayaan Sultan Agung, ilmu
pengetahuan dan seni berkembang pesat, termasuk di dalamnya kesusastraan Jawa.
Sultan Agung sendiri mengarang kitab yang berjudul Sastra Gending yang
merupakan kitab filsafat kehidupan dan kenegaraan. Kitab-kitab yang lain adalah
Nitisruti, Nitisastra, dan Astrabata. Kitab-kitab ini berisi tentang
ajaran-ajaran budi pekerti yang baik.
Pengaruh Mataram mulai memudar setelah Sultan
Agung meninggal pada tahun 1645 M. Selanjutnya, Mataram pecah menjadi dua,
sebagaimana isi Perjanian Giyanti (1755) berikut:
·
Mataram
Timur yang dikenal Kesunanan Surakarta di bawah kekuasaan Paku Buwono III
dengan pusat pemerintahan di Surakarta.
·
Mataram
Barat yang dikenal dengan Kesultanan Yogyakarta di bawah kekuasaan Mangkubumi
yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I dengan pusat pemerintahannya di
Yogyakarta.
Perkembangan berikutnya, Kesunanan Surakarta
pecah menjadi dua yaitu Kesunanan dan Mangkunegaran (Perjanjian Salatiga 1757).
Kesultanan Yogyakarta juga terbagi atas Kesultanan dan Paku Alaman. Perpecahan
ini terjadi karena campur tangan Belanda dalam usahanya memperlemah kekuatan
Mataram, sehingga mudah untuk di kuasai.
H.
Runtuhnya
Kerajaan Mataram Islam dan Peninggalan – peninggalannya
a)
Runtuhnya
Kerajaan Mataram Islam
Sultan Agung tidak mempunyai pengganti yang
mumpuni sepeninggalnya. Putra mahkota sangat bertolak belakang sifat dan
kepribadiannya dengan sang ayah. Kegemarannya pada kehidupan keduniawian telah
mendorongnya ke jurang kehancuran kerajaan. Maka dimulailah pemerintahannya
sebagai raja Mataram bergelar Sunan Amangkurat I (1646-1677).
Raja ini mempunyai kebiasaan yang berbeda
dengan para pendahulunya. Gaya pemerintahannya cenderung lalim, tidak suka
bergaul (terasing) dan terlalu curiga dengan semua orang. Para pejabat di zaman
pemerintahan ayahnya dihabisi dengan bengis, entah dengan hukuman cekik sampai
mati untuk perkara-perkara yang sudah diatur (jebakan) atau dengan cara
dikorbankan menjadi memimpin armada perang ke luar Mataram. Hubungan antar
kerabat pun tidak berjalan baik. Bahkan dengan putra mahkotanya, Sunan
Amangkurat I terlibat bersaing dalam urusan wanita pilihan sebagai istri.
Kejadian ini memunculkan tragedi berupa tewasnya mertua dan saudara-saudara
raja. Karena putra mahkota didukung oleh kakeknya, P. Pekik (mertua Amangkurat
I) untuk menikahi seorang gadis cantik bernama Rara Oyi, putri Ngabehi
Mangunjaya dari tepi Kali Mas Surabaya. P. Pekik berasal dari Surabaya
terlibat membantu putra mahkota yang merupakan saingan sang raja dalam
perebutan putri tersebut.
Kebengisan sunan dapat dilacak dari catatan
pejabat Belanda maupun dalam babad Jawa.Banyak kejadian tidak masuk akal pada
pemerintahannya. Pernah sang raja mengatur pembunuhan untuk adiknya, P. Alit.
Karena sang adik dihasut para pangeran di kerajaan untuk menuntut tahta.
Bahkan raja pernah melakukan genocide terhadap lima ribu ulama.
Sifat bengis sunan ini telah menimbulkan
sikap anti pati dan ketakutan rakyatnya. Oleh sebab itu ketika terjadi serbuan
dari kelompok P. Trunajaya dari Madura, raja tidak mampu menangkisnya. Karena
rakyat bersatu padu menyerang istana. Sunan Amangkurat I menyingkir hingga
meninggal karena sakit dalam pelariannya di Wanayasa, Banyumas utara. Konon
pula, untuk mempercepat kematiannya, putra mahkota yang kelak menjadi
Amangkurat II memberi sebutir pil racun pada sang ayah. Amangkurat I dimakamkan
di Tegalwangi, dekat dengan gurunya yaitu Tumenggung Danupaya.
Bagaimanapun buruknya Amangkurat I, beliau tetap mempunyai karya
besar. Dalam bidang arsitektur, sunan membuat istana baru di Plered
(selatan Kuta Gede) dengan konsep pulau ditengah laut. Pembangunan istana
Mataram tersebut dilandasi oleh sifatnya yang tidak mau kalah dengan
keberhasilan sang ayah. Untuk pekerjaan ini, sunan mengerahkan para penduduk
hingga luar ibu kota agar membuat batu bata sebagai tembok kraton dan
membendung sungai Opak menjadi danau besar. Utusan VOC, Rijklof van Goens
mencatat bahwa ia sangat takjub dengan kraton Plered yang seolah-olah mengapung
di lautan. Untuk mencapai alun-alun sebelum ke istana, orang harus melewati
jembatan batang yang dibangun permanen.
Wafatnya Amangkurat I, membuat Putra mahkota mempunyai modal besar menggantikan
tahta Mataram. Dengan bekal pusaka-pusaka kerajaan, beliau berusaha mengusir
gerakan Trunajaya dengan meminta dukungan VOC. Putra mahkota naik tahta
bergelar Sunan Amangkurat II (1677-1703).
Ibu kota Mataram dipindah, bergerak ke timur
di Kartasura. Karena P. Puger (adik Amangkurat II) tetap berdiam di
istana Plered, setelah Amangkurat I wafat. Beliau berpendapat bahwa dirinya
yang berhak atas tahta Mataram. Karena dirinya yang mendapat wahyu dari
sang ayah (Amangkurat I) bukan putra mahkota (Amangkurat II). Kejadian tersebut
ketika P. Puger menunggui ajal sang ayah.
Namun akhirnya P. Puger mengakui kekuasaan
Amangkurat II di Kartasura tahun 1680. setelah terjadi pertikaian alot.
Meskipun pada masa-masa sesudahnya, P. Puger tetap membara semangatnya untuk
mencapai tahta Mataram. Kelak akhirnya sang pangeran bertahta sebagai Sunan
Paku Buwana I. Pemerintahan Amangkurat II (1677-1703) di Kartasura dibangun
dengan dukungan penuh VOC. Oleh karena itu, dirinya terikat dengan segala macam
permintaan VOC. Di sisi lain, sang raja sangat melindungi para pejuang dalam
melakukan perlawanan terhadap VOC, diantaranya adalah Untung Suropati. Ia
merupakan mantan perwira VOC yang akhirnya memusuhi resimennya karena
tindakannya yang sewenang-wenang.
Ketika VOC meminta sang raja untuk menyambut Kapten Tack di Kartasura,
muncullah ambivalensinya. Meskipun Kapten Tack ini sangat berjasa dengan
berhasil membunuh P. Trunajaya di Kediri, namun karena sifatnya yang
arogan di mata sang raja, maka Amangkurat II sangat membenci Kapten Tack.
Apalagi kedatangannya ke kraton Mataram adalah untuk mengusir gerakan Untung
Suropati. Untuk menutupi sikap ambivalensinya, Amangkurat II menyambut
baik kedatangan Kapten Tack di depan istana Kartasura. Namun, beliau telah
mengatur siasat dengan pasukan Suropati untuk menyamar sebagai prajurit Mataram.
Tiba-tiba terjadi huru hara di saat Kapten Tack datang di istana yang
menyebabkan dirinya terbunuh (Feb 1686). Sayang, tindakan sunan tersebut
diketahui oleh sang adik, P. Puger. Kelak beliau menunjukkan bukti-bukti
kuat kepada VOC soal keterlibatan sang raja dalam peristiwa itu. Inilah senjata
ampuh P. Puger dalam mendongkel tahta keturunan Sunan Amangkurat II.
Dalam kehidupan seni budaya, dukungan kuat VOC telah
mempengaruhi Amangkurat II untuk menerapkan etiket Eropa di dalam istana.
Tata cara adat sembah untuk menghormat raja mulai diubah tidak dengan cara
duduk bersila, melainkan dengan berdiri tegak lurus tangan dan kaki, topi
diletakkan di lengan. Ini berlaku bagi orang-orang Eropa. Bahkan mereka
diperkenankan duduk di bangku, bukan duduk bersila di lantai seperti layaknya
pada pejabat Mataram. Inilah revolusi sosial yang mulai berlaku di istana
Mataram.
Ketika Amangkurat II wafat, tahta Mataram masih diteruskan oleh putra mahkota
bergelar Amangkurat III (1703-1708). Raja ini juga menggalang persahabatan
dengan Untung Suropati, seperti ayahnya. Sementara itu, di istana terjadi
konflik lama. Sang paman, P. Puger tetap ngotot menginginkan tahta. Dengan
bukti-bukti kuat keterlibatan Amangkurat II dan III soal wafatnya Kapten Tack,
maka P. Puger dinaikkan tahta sebagai raja Mataram oleh VOC, bergelar Sunan
Paku Buwana I (1704-1719). Beliau bertahta di Semarang. Amangkurat III
diserang oleh VOC dan Sunan PB I. Beliau melarikan diri ke Jawa Timur, akhirnya
dapat ditawan VOC (1708) kemudian diasingkan ke Sri Lanka. Sunan PB I kemudian
bertahta di Kartasura. Masa-masa pemerintahannya dibayar mahal dengan
menyerahkan daerah-daerah pesisir kepada VOC. Suatu kesalahan besar. Karena
sumber pendapatan Mataram berkurang drastis. Ianilah yang memancing konflik
intern berkepanjangan.
Kondisi kerajaan tidak pernah stabil. Para pangeran merasa bahwa pengaruh dan
kebijakan VOC sangat menancap di Mataram. Terjadi beberapa pemberontakan yang
dilakukan para pembesar kerajaan yang tidak puas dengan kondisi pemerintahan.
Keadaan ini berlangsung terus bahkan hingga wafatnya Sunan PB I dan digantikan
sang putra dengan gelar Sunan Amangkurat IV (1719-1726). Catatan Belanda
menunjukkan bahwa Amangkurat IV seperti seorang raja yang telah ditinggalkan rakyatnya.
Kerajaan sangat rapuh, potensi perpecahan dan konflik intern
merebak. Bahkan hingga wafatnya, sang raja pengganti (Sunan PB II)
mewarisi kerapuhan tersebut. Sunan PB II (1726-1749) memegang tampuk
pemerintahan dalam usia muda belia, 16 tahun. Hal itulah yang membuat sang
bunda, Ratu Amangkurat IV yang mendukung VOC melakukan intervensi pada
pemerintahannya. Sementara itu patihnya, Danurejo sangat anti VOC.
Sebagaimana sang ayah yang mewarisi kondisi kerajaan tidak solid, Sunan PB II
pun dirongrong oleh hutang-hutang yang harus dibayarkan kepada VOC. Bahkan
kerajaan mengalami perang besar, yaitu pemberontakan orang-orang Cina yang
semula terjadi di Batavia (1740) kemudian merembet hingga Kartasura. Perang
yang dikenal sebagai Geger Pacina ini telah membuat sunan bersama gubernur
pesisir van Hohendorff harus melarikan diri ke Jawa Timur karena istana Mataram
diduduki kaum pemberontak. Beruntung, VOC dapat menyusun kekuatan dan berhasil
menduduki kembali Kartasura tahun 1742. Namun kondisi istana yang sudah poranda
tidak layak sebagai ibukota kerajaan dan paham Jawa mengatakan bahwa istana
yang sudah diduduki musuh, tidak lagi suci sebagai ibukota. Dengan dukungan
VOC, Sunan PB II membangun istana baru. Desa Sala atau kemudian dikenal dengan Surakarta
Hadiningrat terpilih dari 3 alternatif yang diajukan dan sunan mulai
mendiaminya pada 1745(1746). Arsitek pembangunan kraton adalah adik sunan,
P. Mangkubumi (kelak bergelar Sultan HB I). Harga mahal yang harus dibayar raja
kepada VOC karena berhasil memadamkan perang pacina adalah kesepakatan bahwa
VOC memperoleh daerah pesisir, yaitu Madura, Sumenep dan Pamekasan. Selain itu,
VOC lah yang menentukan pejabat patih Mataram serta penguasa pesisir. Akibat
jatuhnya pesisir ke tangan VOC, para pejabat Mataram geram. Bermunculan para
pemberontak yang merongrong istana Surakarta Hadiningrat. Diantaranya yang
terkenal adalah pasukan Raden Mas Said (1746), keponakan raja. Untuk memadamkan
pemberontakan itu, sunan mengadakan sayembara berupa pemberian tanah Sokawati
bagi yang berhasil memadamkannya. Maka tampillah adik raja, P. Mangkubumi.
Dengan kemampuannya mengatur strategi perang dan penguasaan medan yang jitu,
akhirnya gerakan Mas Said dapat ditumpas. Namun sunan mengampuni keponakannya
itu.
Masalah timbul, ketika dalam pertemuan agung kerajaan, langkah sunan hendak
menyerahkan hadiah tanah Sokawati kepada P. Mangkubumi dihalangi oleh patihnya,
Pringgalaya dan gubernur van Imhoff. Menurut gubernur VOC tersebut, Mangkubumi
tidak layak mendapat hadiah 4000 cacah. Seakan-akan hendak menandingi
kekuasaan raja. P. Mangkubumi kecewa, dipermalukan dihadapan umum oleh van
Imhoff. Maka 19 Mei 1746, beliau berontak pada VOC , keluar dari Surakarta,
lalu mendiami Sokawati dengan kekuatan 2500 kavaleri (pasukan berkuda) serta
13000 anak buah dan punggawa yang mendukungnya. Beliau melancarkan serangan
kepada VOC di Grobogan, Juana, Demak, Jipang (Bojonegoro). Pasukannya bertambah
kuat dengan bergabungnya RM. Said, sang keponakan yang sempat ditundukkannya.
Persatuan paman dan keponakan ini bahkan hampir menguasai istana Surakarta
(1748). Kondisi kerajaan yang tidak stabil membuat Sunan PB II jatuh sakit.
Seakan sudah pasrah dengan kerajaannya yang tidak solid, beliau menyerahkan
Mataram kepada gubernur Baron von Hohendorff (11 Desember 1749). Inilah
kesalahan terbesar yang dilakukan raja. Keputusan tersebut menyulut P.
Mangkubumi untuk bergerak, agar dapat menarik kembali kerajaan tetap dalam
pangkuan dinasti Mataram. Beliau mengangkat dirinya sebagai Sunan Pakubuwana di
desa Bering, Yogyakarta (12 des 1749). Tindakan ini sebagai langkah mendahului
keponakannya (putra mahkota PB II yang baru 16 tahun), yang akan dinaikkan
tahta oleh VOC sebagai Sunan PB III. Inilah babak baru periode kerajaan Mataram
terbagi dua.
P. Mangkubumi sebagai raja didampingi RM. Said sebagai patihnya. Kedua tokoh
ini merupakan dwi tunggal kekuatan yang sulit ditembus VOC maupun Surakarta
Hadiningrat dibawah PB III. Sayang persekutuan sultan dan patihnya yang juga
merupakan menantu, akhirnya pecah di tahun 1753 akibat benturan konflik pribadi
soal tahta Mataram yang masih dipegang Sunan PB III. VOC yang sudah lelah
dengan panjangnya peperangan, mulai menempuh jalur perundingan. Bahkan RM. Said
pernah menulis surat ke VOC bersedia berunding dengan syarat diangkat sebagai
sunan. Rupanya VOC tidak mengindahkannya, namun melirik pada P. Mangkubumi. VOC
mendekatinya bahkan mengganti pejabatnya yang tidak disukai P. Mangkubumi dalam
upaya perundingan, yaitu van Hohendorff. VOC menggantikannya dengan Nicolaas
Hartingh. Seorang Belanda yang sangat mengerti tata krama Jawa, pribadi yang
lebih disukai P. Mangkubumi. Dalam hal ini Hohendorff sadar diri, ia
tidak akan bisa kontak dengan Mangkubumi dan hal tersebut sangat merugikan VOC.
Selain itu, citranya sudah buruk di Surakarta. Oleh karena itu pengunduran diri
Hohendorff merupakan langkah maju bagi VOC guna membuka perundingan dengan P.
Mangkubumi.
Kesepakatan tercapai melalui Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755).
Menyatakan Mataram dibagi dua. Sunan PB III tetap bertahta di Surakarta
Hadiningrat dengan kekuasaan meliputi : Ponorogo, Kediri, Banyumas. P.
Mangkubumi bertahta di desa Bering yang lebih dikenal dengan Ngayogyakarta
Hadiningrat, dengan wilayah meliputi Grobogan, Kertasana, Jipang, Japan,
Madiun. Sementara Pacitan dibagi untuk keduanya, termasuk Kotagede dan makam
Kerajaan Imogiri. Sunan PB III yang tidak diikutkan dalam perundingan
tersebut tidak dapat berbuat banyak, hanya bisa menerimanya. Sementara itu, RM.
Said semakin kecewa karena tidak mendapatkan kekuasaan. Oleh karena itu dirinya
semakin gencar melakukan perlawanan baik kepada Sultan HB I, Sunan PB III,
dan VOC. Merasa tidak mampu menanganinya, VOC pun menawarkan jalan damai,
melalui perundingan Salatiga (1757). Dalam perundingan tersebut Mas Said
menyatakan kesetiaannya pada raja Surakarta Hadiningrat dan VOC. Sunan PB III
memberikan tanah 4000 cacah dengan wilayah meliputi Nglaroh, Karanganyar,
Wonogiri. Sementara, Sultan HB I tidak memberikan apa-apa. Kemudian RM. Said
dinobatkan sebagai adipati Mangkunegara I. Kerajaannya bernama
Mangkunegaran.
Demikianlah kerajaan Mataram resmi terbagi dalam 3 kekuasaan yang diperintah
Sunan PB III, Sultan HB I, dan Mangkunegara I. Konflik antar pangeran mulai
mereda, keamanan relatif stabil. Namun dalam kedua perundingan yang telah
disepakati tersebut tidak dicantumkan hal pengganti tahta. Oleh karena itu
masih terbuka peluang untuk menyatukan tahta Mataram. MN I berharap akan tahta
Surakarta. Oleh karena itu, putranya (Prabu Widjojo) dinikahkan dengan putri PB
III, GKR Alit. Meskipun dari perkawinan tersebut lahir seorang putra, Namun
harapan MN I pupus, karena PB III kemudian mempunyai putra mahkota. Kelak
putra Ratu Alit dan Prabu Widjojo bertahta sebagai MN II. Demikian pula
upaya Mas Said menikah dengan GKR Bendara, putri sulung HB I. Sayang sang
putri menceraikannya (1763) yang kemudian menikah dengan P. Diponegara (dari
Yogyakarta). Oleh karena itu, terputuslah harapan Mangkunegara untuk merajut
tahta Mataram dalam satu kekuasaan tunggal. Bagaimanapun juga penyatuan Mataram
akan merumitkan VOC karena sukar mengendalikan satu kekuatan besar di Jawa.
Dengan terbagi-baginya kerajaan, maka akan mudah bagi VOC menancapkan hegemoni
dan superiornya di Tanah Jawa.
b)
Peninggalan
– peninggalan Kerajaan Mataram Islam
1.
Gerbang
Makam Kotagede
Inilah gerbang masuk makam Kotagede, di sini
nampak perpaduan unsur bangunan Hindu dan Islam.
2.
Masjid
Makam Kotagede
Sebagai kerajaan Islam, Mataram memiliki banyak
peninggalan masjid kuno, inilah masjid di komplek makam Kotagede yang
bangunannya bercorak Jawa.
3.
Bangsal
duda
Di sinilah tempat peziarah mendapatkan
informasi dari jurukunci makam yang berasal dari Kraton Surakarta dan Kraton
Yogyakarta. Di tempat ini jugalah peziarah menanggalkan pakaiannya untuk
berganti pakaian peranakan jika hendak memasuki komplek makam.
4.
Kalang
Obong
Upacara tradisional kematian orang Kalang,
upacara ini seperti Ngaben di Bali, tetapi kalau upacara Kalang Obong ini bukan
mayatnya yang dibakar melainkan pakaian dan barang-barang peninggalannya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kerajaan Mataram berdiri pada tahun 1582. Pusat kerajaan ini terletak di
sebelah tenggara kota Yogyakarta, yakni di Kotagede. Awal berdirinya yaitu
setelah kerajaan Demak runtuh, kerajaan Pajang merupakan satu-satunya kerajaan
di Jawa Tengah. Namun demikian raja Pajang masih mempunyai musuh yang kuat yang
berusaha menghancurkan kerajaannya, ialah seorang yang masih keturunan keluarga
kerajaan Demak yang bernama Arya Penangsang. Raja kemudian membuat sebuah
sayembara bahwa barang siapa mengalahkan Arya Penangsang atau dapat
membunuhnya, akan diberi hadiah tanah di Pati dan Mataram. Ki Pemanahan dan Ki
Penjawi yang merupakan abdi prajurit Pajang berniat untuk mengikuti sayembara
tersebut. Di dalam peperangan akhirnya Danang Sutwijaya berhasil mengalahkan
dan membunuh Arya Penangsang.
B.
Saran
Sebagai generasi Muda Bangsa Indonesia, Kita
harus melestarika peninggalan - peninggalan sejarah Kerajaan Mataram Islam,
Sebab kalau bukan kita siapa lagi yang akan melestarikannya, dan Kita terus
memperdalam ilmu pengetahuan tentang sejarah, agar kita tau seperti apa
kerajaan - kerajaan yang ada di Indonesia pada masa itu.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar