BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bangsa
yang besar adalah bangsa yang mengenal sejarah dan peradaban bangsanya, dan
berusaha melestarikannya sehingga di
kenal pula oleh Bangsa-bangsa lain di dunia. Sebagaimana halnya Aceh yang
dulunya merupakan negara Islam termasyhur di kawasan Asia Tenggara dengan
julukan “Serambi Mekkah” bahkan dikenal pula sebagai salah satu negara yang
makmur di antara lima negara terkuat di dunia, yaitu : Aceh, Aqra, Maroko,
Istanbul, dan Isfahan (Persia).
Aceh
yang terletak di ujung pulau Sumatra sekarang merupakan salah satu provinsi
dalam negara Indonesia yang disebut Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Aceh
sebelum bergabung dengan Indonesia pada tahun 1945 merupakan wilayah kerajaan
Islam yang beribukota Banda Aceh.
Asal
nama Aceh juga terdapat cerita di dalam sebuah buku bangsa Pegu (Hindia
Belakang) yang menceritakan perjalanan Budha ke Indo Cina dan kepulauan Melayu.
Mereka melihat di atas gunung di pulau Sumatra. Sebuah pancaran cahaya beraneka
ragam warna dari gunung itu, sehingga mereka berseru : “Acchera Bata (Atjaram
Bata Bho = Alangkah indahnya) jadi dari kata itulah kemudian menjadi asal
sebutan nama Aceh. Gunung yang bercahaya itu di ceritakan terletak dekat pasai
yang sekarang tidak ada lagi karena telah di tembak hancur dengan meriam oleh
kapal perang Portugis.
j.
Kreemer dalam bukunya “Atjeh” (Leiden 1922) mengatakan bahwa kerajaan Aceh
pasti belum tahun 1500 sudah berdiri dengan kuat dan megahnya, untuk mengetahui
dari mana tepatnya asalnya mula orang Aceh belum di dapat data-data yang
relatif akurat dalam sejarah kini mungkin seseorang menemukan di antara
penduduk Pribumi Aceh orang dengan ciri-ciri bangsa Melayu, Pakistan, India,
Cina dan bahkan dalam jumlah yang lebih kecil orang-orang dengan ciri-ciri Portugis,
Turki, Arab, dan Parsi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
sejarah berdirinya kesultanan ACEH?
2. Apa
saja faktor yang mendorong berkembangnya kesultanan ACEH?
3. Bagaimana
kehidupan politik, ekonomi, dan sosial budaya kesultanan ACEH?
4. Bagaimana
kemunduran kesultanan ACEH?
C. Tujuan Makalah
1. Untuk
mengetahui sejarah berdirinya kesultanan ACEH.
2. Untuk
mengetahui faktor – faktor yang mendorong berkembangnya kesultanan ACEH.
3. Untuk
mengetahui kehidupan politik, ekonomi, dan sosial budaya kesultanan ACEH.
4. Untuk
mengetahui kemunduran kesultanan ACEH.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah dan Perkembangan Kesultanan Aceh
Kerajaan
Aceh dirintis oleh Mudzaffar Syah. Ketika awal kedatangan Bangsa Portugis
di Indonesia, tepatnya di Pulau Sumatra, terdapat dua pelabuhan dagang yang
besar sebagai tempat transit para saudagar luar negeri, yakni Pasai dan Pedir.
Pasai dan Pedir mulai berkembang pesat ketika kedatangan bangsa Portugis serta
negara-negara Islam. Namun disamping pelabuhan Pasai dan Pedir, Tome Pires
menyebutkan adanya kekuatan ketiga, masih muda, yaitu “Regno dachei” (Kerajaan
Aceh).
Aceh
berdiri sekitar abad ke-16, dimana saat itu jalur perdagangan lada yang semula
melalui Laut Merah, Kairo, dan Laut Tengah diganti menjadi melewati sebuah
Tanjung Harapan dan Sumatra. Hal ini membawa perubahan besar bagi perdagangan
Samudra Hindia, khususnya Kerajaan Aceh. Para pedagang yang rata-rata merupakan
pemeluk agama Islam kini lebih suka berlayar melewati utara Sumatra dan Malaka.
Selain pertumbuhan ladanya yang subur, disini para pedagang mampu menjual hasil
dagangannya dengan harga yang tinggi, terutama pada para saudagar dari Cina.
Namun hal itu justru dimanfaatkan bangsa Portugis untuk menguasai Malaka dan
sekitarnya. Dari situlah pemberontakan rakyat pribumi mulai terjadi, khususnya
wilayah Aceh (Denys Lombard: 2006, 61-63)
Pada
saat itu Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan
Ibrahim, berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pedir pada tahun
1520. Dan pada tahun itu pula Kerajaan Aceh berhasil menguasai daerah Daya
hingga berada dalam kekuasaannya. Dari situlah Kerajaan Aceh mulai melakukan
peperangan dan penaklukan untuk memperluas wilayahnya serta berusaha melepaskan
diri dari belenggu penjajahan bangsa Portugis. Sekitar tahun 1524, Kerajaan
Aceh bersama pimpinanya Sultan Ali Mughayat Syah berhasil menaklukan Pedir dan
Samudra Pasai. Kerajaan Aceh dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah tersebut
juga mampu mengalahkan kapal Portugis yang dipimpin oleh Simao de Souza Galvao
di Bandar Aceh (Poesponegoro: 2010, 28)
Setelah
memiliki kapal ini, Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim bersiap-siap
untuk menyerang Malaka yang dikuasai oleh Bangsa Portugis. Namun rencana itu
gagal. Ketika perjalanan menuju Malaka, awak kapal dari armada Kerajaan Aceh
tersebut justru berhenti sejenak di sebuah kota. Disana mereka dijamu dan
dihibur oleh rakyat sekitar, sehingga secara tak sengaja sang awak kapal
membeberkan rencananya untuk menyerang Malaka yang dikuasai Portugis. Hal
tersebut didengar oleh rakyat Portugis yang bermukim disana, sehingga ia pun
melaporkan rencana tersebut kepada Gubernur daerah Portugis (William Marsden,
2008: 387)
Selain
itu sejarah juga mencatat, usaha Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim
untuk terus-menerus memperluas dan mengusir penjajahan Portugis di Indonesia.
Mereka terus berusaha menaklukan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di sekitar
Aceh, dimana kerajaan-kerajaan tersebut merupakan kekuasaan Portugis, termasuk
daerah Pasai. Dari perlawanan tersebut akhirnya Kerajaan Aceh berhasil merebut
benteng yang terletak di Pasai.
Hingga
akhirnya Sultan Ibrahim meninggal pada tahun 1528 karena diracun oleh salah
seorang istrinya. Sang istri membalas perlakuan Sultan Ibrahim terhadap saudara
laki-lakinya, Raja Daya. Dan ia pun digantikan oleh Sultan Alauddin Syah
(William Marsden, 2008: 387-388)
Sultan
Alauddin Syah atau disebut Salad ad-Din merupakan anak sulung dari Sultan
Ibrahim. Ia menyerang Malaka pada tahun 1537, namun itu tidak berhasil. Ia
mencoba menyerang Malaka hingga dua kali, yaitu tahun 1547 dan 1568, dan
berhasil menaklukan Aru pada tahun 1564. Hingga akhirnya ia wafat 28 September
1571. Sultan Ali Ri’ayat Syah atau Ali Ri’ayat Syah, yang merupakan anak bungsu
dari Sultan Ibrahim menggantikan kedudukan Salad ad-Din. Ia mencoba merebut
Malaka sebanyak dua kali, sama seperti kakaknya, yaitu sekitar tahun 1573 dan
1575. Hingga akhirnya ia tewas 1579 (Denys Lombard: 2006, 65-66)
Sejarah
juga mencatat ketika masa pemerintahan Salad ad-Din, Aceh juga berusaha
mengambangkan kekuatan angkatan perang, mengembangkan perdagangan, mengadakan
hubungan internasional dengan kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah, seperti
Turki, Abysinia, dan Mesir. Bahkan sekitar tahun 1563, ia mengirimkan utusannya
ke Konstantinopel untuk meminta bantuannya kepada Turki dalam melakukan
penyerangan terhadap Portugis yang menguasai wilayah Aceh dan sekitarnya.
Mereka berhasil menguasai Batak, Aru dan Baros, dan menempatkan sanak
saudaranya untuk memimpin daerah-daerah tersebut. Penyerangan yang dilakukan
oleh Kerajaan Aceh ini tak luput dari bantuan tentara Turki.
Mansyur
Syah atau Sultan Alauddin Mansyur Syah dari Kerajaan Perak di Semenanjung
adalah orang berikutnya yang naik tahta. Ia merupakan menantu Sultan Ali
Ri’ayat Syah. Menurut Hikayat Bustan as-Salatin, ia adalah seorang
yang sangat baik, jujur dan mencintai para ulama. Karena itulah banyak para
ulama baik dari nusantara maupun luar negeri yang datang ke Kerajaan Aceh.
Hingga akhirnya ia wafat pada tahun 1585 dan digantikan oleh Sultan Alauddin
Ri’ayat Syah ibn Sultan Munawar Syah yang memerintah hingga tahun 1588. Sejak
tahun1588, Kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Alauddin Ri’ayat Syah ibn Firman
Syah atau Sultan Muda hingga tahun 1607 (Poesponegoro: 2010, 30-31)
Kerajaan
Aceh mulai mengalami masa keemasan atau puncak kekuasaan di bawah pimpinan
Sultan Iskandar Muda, yaitu sekitar tahun 1607 sampai tahun 1636. Pada masa
Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengalami peningkatan dalam berbagai
bidang, yakni dalam bidang politik, ekonomi-perdagangan, hubungan
internasional, memperkuat armada perangnya, serta mampu mengembangakan dan
memperkuat kehidupan Islam. Bahkan kedudukan Bangsa Portugis di Malaka pun
semakin terdesak akibat perkembangan yang sangat pesat dari Kerajaan Aceh di
bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda (Poesponegoro: 2010, 31)
Sultan
Iskandar Muda memperluas wilayah teritorialnya dan terus meningkatkan
perdagangan rempah-rempah menjadi suatu komoditi ekspor yang berpotensial bagi
kemakmuran masyarakat Aceh. Ia mampu menguasai Pahang tahun 1618, daerah Kedah
tahun 1619, serta Perak pada tahun 1620, dimana daerah tersebut merupakan
daerah penghasil timah. Bahkan dimasa kepemimpinannya Kerajaan Aceh mampu
menyerang Johor dan Melayu hingga Singapura sekitar tahun 1613 dan 1615. Ia pun
diberi gelar Iskandar Agung dari Timur.
Kemajuan
dibidang politik luar negeri pada era Sultan Iskandar Muda, salah satunya yaitu
Aceh yang bergaul dengan Turki, Inggris, Belanda dan Perancis. Ia pernah
mengirimkan utusannya ke Turki dengan memberikan sebuah hadiah lada sicupak
atau lada sekarung, lalu dibalas dengan kesultanan Turki dengan memberikan
sebuah meriam perang dan bala tentara, untuk membantu Kerajaan Aceh dalam
peperangan. Bahkan pemimpin Turki mengirimkan sebuah bintang jasa pada sultan
Aceh (Harry Kawilarang, 2008: 21-22)
Dalam
lapangan pembinaan kesusasteraan dan ilmu agama, Aceh telah melahirkan beberapa
ulama ternama, yang karangan mereka menjadi rujukan utama dalam bidang
masing-masing, seperti Hamzah Fansuri dalam bukunya Tabyan Fi Ma'rifati al-U
Adyan, Syamsuddin al-Sumatrani dalam bukunya Mi'raj al-Muhakikin al-Iman,
Nuruddin Al-Raniri dalam bukunya Sirat al-Mustaqim, dan Syekh Abdul Rauf
Singkili dalam bukunya Mi'raj al-Tulabb Fi Fashil.
Dalam
hubungan ekonomi-perdagangan dengan Mesir, Turki, Arab, juga dengan Perancis,
Inggris, Afrika, India, Cina, dan Jepang. Komoditas-komoditas yang diimpor
antara lain: beras, guci, gula (sakar), sakar lumat, anggur, kurma, timah putih
dan hitam, besi, tekstil dari katun, kain batik mori, pinggan dan mangkuk,
kipas, kertas, opium, air mawar, dan lain-lain yang disebut-sebut dalam Kitab
Adat Aceh. Komoditas yang diekspor dari Aceh sendiri antara lain kayu
cendana, saapan, gandarukem (resin), damar, getah perca, obat-obatan
(Poesponegoro: 2010, 31)
Di
bawah kekuasannya kendali kerajaan berjalan dengan aman, tentram dan lancar.
Terutama daerah-daerah pelabuhan yang menjadi titik utama perekonomian Kerajaan
Aceh, dimulai dari pantai barat Sumatra hingga ke Timur, hingga Asahan yang
terletak di sebelah selatan. Hal inilah yang menjadikan kerajaan ini menjadi
kaya raya, rakyat makmur sejahtera, dan sebagai pusat pengetahuan yang menonjol
di Asia Tenggara (Harry Kawilarang, 2008: 24)
B. Kehidupan Politik, Ekonomi dan
Sosial Budaya Kesultanan Aceh
a)
Kehidupan
Politik
Pada tahun 1564 sultan Alauddin Al-Kahar
(1537-1568) menyerang Johor dan berhasil menangkap sultan Johor yang kemudian
dibawa ke Aceh. Namun, Johor tetap berdiri sebagai kerajaan dan tetap menentang
Aceh. Gagal merebut Johor, kerajaan Aceh meluaskan kerajaan atau wilayahnya ke
Sumatra bagian tengah dan selatan. Kerajaan-kerajaan di Sumatra, seperti Deli
(1612), Bintan (1614), Kampar perlamaan dan Minangkabau di taklukkannya. Begitu
juga kerajaan-kerajaan di Semenanjung Malak, seperti peraka, dan pahang 91618),
berada di kawasannya.
Setelah meninggal Raja Ali Mughayat Syah
(1528) kerajaan Aceh di pimpin oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636) yang pada
masa pemerintahannya kerajaan Aceh mengalami puncak kejayaan, ia bercita-cita
untuk menjadikan Aceh sebagai kerajaan yang kuat dan besar.
Kerajaan-kerajaan di Semenanjung harus
di taklukan yakni : Pahang, Kedeh, Perlak Johor, dan sebagainya
Penggantian Sultan Iskandar Muda ialah
Sultan Iskandar Thani (1636-1641) pada saat itu Aceh mengalami kemunduran.
b)
Kehidupan
Ekonomi
Kehidupan ekonomi yang utama dari
masyarakat Aceh ialah pelayaran dan perdagangan. Pada masa pemerintahan sultan
Iskandar Muda (1670-1636) kesultanan Aceh dapat memperluas daerah hingga
Sumatra Barat (penghasil lada dan timah). Aceh menganut sistem perdagangan
bebas, komoditas ekspor Aceh berupa : beras, lada, timah, emas, dan perak.
Adapun barang yang di impor berupa Porselin, kain sutra, dan minyak wangi.
c)
Kehidupan
Sosial dan Budaya
Kehidupan sosial masyarakat Aceh sangat
maju, agama islam pun sudah berkembang, di Aceh muncul dua golongan yang saling
merebut pengaruh yakni : Golongan Teuku dan Golongan Tengku. Golongan tengku
adalah kaum ulama yang memegang perana penting dalam bidang agama. Sedangkan
golongan Teuku golongan bangsawan yang memegang kekuasaan sipil. Disamping itu
antara golongan agama juga ada persaingan yakni : Aliran Syiah, dan Aliran
Sunnah Waljama’ah. Pada masa sultan iskandar muda, aliran Syiah berkembang
pesat, tokoh aliran ini ialah Hamzah Fansuri, yang kemudian diteruskan oleh Syamsuddin Palai. Setelah Sultan
Iskandar Muda meninggal aliran Sunnah Waljama’ah yang dapat berkembang pesat.
Tokoh aliran ini ialah Nuruddin Ar-Raniri yang berhasil menulis sejaraj Aceh
dalam kitab Bustanussalatin yang berisi adat istiadat Aceh dan ajaran agama
islam. Di bidang budaya terlihat dari adanya bangunan Mesjid Baiturrahman yang
dibangun pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda.
C.
Silsilah Kesultanan Aceh
Sepanjang
riwayat dari awal berdiri hingga keruntuhannya, Kesultanan Aceh Darussalam
tercatat telah berganti sultan hingga tigapuluh kali lebih. Berikut ini
silsilah para sultan/sultanah yang pernah berkuasa di Kesultanan Aceh
Darussalam :
- Sulthan Ali Mughayat Syah
(1496-1528)
- Sulthan Salah ad-Din (1528-1537)
- Sulthan Ala ad-Din Ri`ayat Syah
al-Kahar (1537-1568)
- Sulthan Husin Ibnu Sultan Alauddin
Ri`ayat Syah (1568-1575)
- Sulthan Muda (1575)
- Sulthan Sri Alam (1575-1576)
- Sulthan Zain Al-Abidin (1576-1577)
- Sulthan Ala al-din mansyur syah
(1576-1577)
- Sulthan Buyong atau Sultan Ali
Ri`ayat Syah Putra (1589-1596)
- Sulthan Ala`udin Ri`ayat Syah Said
Al-Mukammal Ibnu (1596-1604)
- Sulthan Ali Riayat Syah (1604-1607)
- Sulthan Iskandar Muda Johan
Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636)
- Sulthan Iskandar Tsani (1636-1641)
- Sulthanah (Ratu) Tsafiatu' ddin Taj
'Al-Alam / Puteri Sri Alam (1641-1675)
- Sulthanah (Ratu) Naqi al-Din Nur
Alam (1675-1678)
- Sulthanah (Ratu) Zaqi al-Din Inayat
Syah (1678-1688)
- Sulthanah (Ratu) Kamalat Sayah
Zinat al-Din (1688-1699)
- Sulthan Badr al-Alam Syarif Hasyim
Jamal al-Din (1699-1702)
- Sulthan Perkasa Alam Syarif Lamtui
(1702-1703)
- Sulthan Jamal al-Alam Badr al-Munir
(1703-1726)
- Sulthan Jauhar al-Alam Amin al-Din
(1726)
- Sulthan Syams al-Alam (1726-1727)
- Sulthan Ala al-Din Ahmad Syah
(1723-1735)
- Sulthan Ala al-Din Johan Syah
(1735-1760)
- Sulthan Mahmud Syah (1760-1781)
- Sulthan Badr al-Din (1781-1785)
- Sulthan Sulaiman Syah (1785-1791)
- Sulthan Alauddin Muhammad Daud Syah
(1791-1795)
- Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah
(1795-1815)
- Sulthan Syarif Saif al-Alam
(1815-1818)
- Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah
(1818-1824)
- Sulthan Muhammad Syah (1824-1838)
- Sulthan Sulaiman Syah (1838-1857)
- Sulthan Mansyur Syah (1857-1870)
- Sulthan Mahmud Syah (1870-1874)
- Sulthan Muhammad Daud Syah
(1874-1903
C.
Wilayah Kekuasaan
Daerah-daerah
yang menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam, dari
masa awalnya hingga terutama berkat andil Sultan Iskandar Muda, mencakup antara
lain hampir seluruh wilayah Aceh, termasuk Tamiang, Pedir, Meureudu, Samalanga,
Peusangan, Lhokseumawe, Kuala Pase, serta Jambu Aye. Selain itu, Kesultanan
Aceh Darussalam juga berhasil menaklukkan seluruh negeri di sekitar Selat
Malaka termasuk Johor dan Malaka, kendati kemudian kejayaan pemerintahan
Kesultanan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda mulai
mengalami kemunduran pasca penyerangan ke Malaka pada 1629.
Selain
itu, negeri-negeri yang berada di sebelah timur Malaya, seperti Haru (Deli),
Batu Bara, Natal, Paseman, Asahan, Tiku, Pariaman, Salida, Indrapura, Siak,
Indragiri, Riau, Lingga, hingga Palembang dan Jambi. Wilayah Kesultanan Aceh
Darussalam masih meluas dan menguasai seluruh Pantai Barat Sumatra hingga
Bengkulen (Bengkulu). Tidak hanya itu, Kesultanan Aceh Darussalam bahkan mampu
menaklukkan Pahang, Kedah, serta Patani. Pembagian wilayah kekuasaan Kesultanan
Aceh Darussalam pada masa Sultan Iskandar Muda diuraikan sebagai berikut:
a)
Wilayah Aceh Raja
Dibagi
dalam tiga Sagoi (ukuran wilayah administratif yang kira-kira setara dengan
kecamatan) yang masing-masing dipimpin oleh seorang kepala dengan gelar
Panglima Sagoe, yaitu:
Sagoe
XXII Mukim,
Sagoe
XXV Mukim
Sagoe
XXVI Mukim.
Di
bawah tiap-tiap Panglima Sagoe terdapat beberapa Uleebalang dengan daerahnya
yang terdiri dari beberapa Mukim (ukuran wilayah administratif yang kira-kira
setara dengan kelurahan/desa). Di bawah Uleebalang terdapat beberapa Mukim yang
dipimpin oleh seorang kepala yang bergelar Imeum. Mukim terdiri dari beberapa
kampung yang masing-masing dipimpin oleh seorang kepala dengan gelar Keutjhi.
b) Daerah
Luar Aceh Raja
Daerah
ini terbagi dalam daerah-daerah Uleebalang yang dipimpin oleh seorang kepala
yang bergelar Uleebalang Keutjhi. Wilayah-wilayah di bawahnya diatur sama
dengan aturan wilayah yang berlaku di Daerah Aceh Raja.
c)
Daerah yang Berdiri Sendiri
Di
dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam terdapat juga daerah-daerah
yang tidak termasuk ke dalam lingkup Daerah Aceh Raja ataupun Daerah Luar Aceh
Raja. Daerah-daerah yang berdiri di perintahkan oleh uleebalang untuk tunduk kepada
Sultan Aceh Darussalam (hasjmy, 1961:3)
D. Kemunduran Kesultanan Aceh
Kesultanan
Aceh Darussalam pernah pula dipimpin oleh seorang raja perempuan. Ketika Sultan Iskandar Tsani mangkat,
sebagai penggantinya adalah Taj`al-`Alam
Tsafiatu`ddin alias Puteri Sri Alam, istri dari Sultan Iskandar
Tsani yang juga anak perempuan Sultan Iskandar Muda. Ratu yang dikenal juga
dengan nama Sri Ratu Safi al-Din
Taj al-Alam ini memerintah Kesultanan Aceh Darussalam selama 34
tahun (1641-1675). Masa pemerintahan Sang Ratu diwarnai dengan cukup banyak
upaya tipu daya dari pihak asing serta bahaya pengkhianatan dari orang dalam
istana. Masa pemerintahan Ratu
Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin selama 34 tahun itu tidak akan bisa
dilalui dengan selamat tanpa kebijaksanan dan keluarbiasaan yang dimiliki oleh
Sang Ratu. Dalam segi ini, Aceh Darussalam bisa membanggakan sejarahnya karena
telah mempunyai tokoh wanita yang luar biasa di tengah rongrongan kolonialis
Belanda yang semakin kuat.
Pemerintahan
Kesultanan Aceh Darussalam sepeninggal Ratu Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin yang wafat pada 23 Oktober 1675 masih diteruskan
oleh pemimpin perempuan hingga beberapa era berikutnya. Adalah Sri Paduka Putroe dengan
gelar Sultanah Nurul Alam
Nakiatuddin Syah yang menjadi pilihan para tokoh adat dan istana
untuk memegang tampuk pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam yang selanjutnya.
Konon, dipilihnya Ratu yang juga sering disebut dengan nama Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam ini
dilakukan untuk mengatasi usaha-usaha perebutan kekuasaan oleh beberapa pihak
yang merasa berhak. Namun pemerintahan Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alamhanya bertahan selama 2 tahun
sebelum akhirnya Sang Ratu menghembuskan nafas penghabisan pada 23 Januari 1678. Dua pemimpin
Kesultanan Aceh Darussalam setelah Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam masih
dilakoni kaum perempuan, yaitu Sri
Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688), dan kemudian Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din(1688-1699).
Setelah
era kebesaran Sultan Iskandar Muda berakhir, Belanda mencium peluang untuk
kembali mengusik tanah Aceh. Memasuki paruh kedua abad ke-18, Aceh mulai
terlibat konflik dengan Belanda dan Inggris. Pada akhir abad ke-18, wilayah
kekuasaan Aceh di Semenanjung Malaya, yaitu Kedah dan Pulau Pinang dirampas
oleh Inggris. Tahun 1871, Belanda mulai mengancam Aceh, dan pada 26 Maret 1873,
Belanda secara resmi menyatakan perang terhadap Aceh. Dalam perang tersebut,
Belanda gagal menaklukkan Aceh. Pada 1883, 1892 dan 1893, perang kembali meletus, namun,
lagi-lagi Belanda gagal merebut Aceh.
Memasuki
abad ke-20, dilakukanlah
berbagai cara untuk dapat menembus kokohnya dinding ideologi yang dianut bangsa
Aceh, termasuk dengan menyusupkan seorang pakar budaya dan tokoh pendidikan
Belanda, Dr. Snouck Hugronje,
ke dalam masyarakat adat Aceh. Snouck Hugronje sangat serius menjalankan tugas
ini, bahkan sarjana dariUniversitas
Leiden ini sempat memeluk Islam untuk memperlancar misinya. Di
dalaminya pengetahuan tentang agama Islam, demikian pula tentang bangsa-bangsa,
bahasa, adat-istiadat di Indonesia dan perihal yang khusus mengenai
pengaruh-pengaruhnya bagi jiwa dan raga penduduk (H. Mohammad Said b,
1985:91).
Snouck Hugronje menyarankan
kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda agar mengubah fokus serangan yang
selama ini selalu berkonsentrasi ke Sultan dan kaum bangsawan, beralih kepada
kaum ulama. Menurut Snouck
Hugronje, tulang punggung perlawanan rakyat Aceh adalah kaum ulama. Oleh
sebab itu, untuk melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh, maka serangan harus
diarahkan kepada kaum ulama Aceh tersebut. Secara lebih detail, Snouck Hugronje
menyimpulkan hal-hal yang harus dilakukan untuk dapat menguasai Aceh, antara
lain :
- Hentikan usaha mendekat Sultan dan
orang besarnya.
- Jangan mencoba-coba mengadakan
perundingan dengan musuh yang aktif, terutama jika mereka terdiri dari
para ulama.
- Rebut lagi Aceh Besar.
- Untuk mencapai simpati rakyat Aceh,
giatkan pertanian, kerajinan, dan perdagangan.
- Membentuk biro informasi untuk
staf-staf sipil, yang keperluannya memberi mereka penerangan dan
mengumpulkan pengenalan mengenai hal ihwal rakyat dan negeri Aceh.
- Membentuk kader-kader pegawai
negeri yang terdiri dari anak bangsawan Aceh dan membikin korps
pangrehpraja senantiasa merasa diri kelas memerintah (Said b, 1985:97).
Saran
ini kemudian diikuti oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan menyerang
basis-basis para ulama, sehingga banyak masjid dan madrasah yang dibakar
Belanda. Saran Snouck Hugronje membuahkan
hasil: Belanda akhirnya sukses menaklukkan Aceh. Pada 1903, kekuatan Kesultanan
Aceh Darussalam semakin melemah seiring dengan menyerahnya Sultan M. Dawud
kepada Belanda. Setahun kemudian, tahun 1904, hampir seluruh wilayah Aceh
berhasil dikuasai Belanda. Walaupun demikian, sebenarnya Aceh tidak pernah
tunduk sepenuhnya terhadap penjajah. Perlawanan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh
adat dan masyarakat tetap berlangsung. Aceh sendiri cukup banyak memiliki sosok
pejuang yang bukan berasal dari kalangan kerajaan, sebut saja: Chik Di Tiro, Panglima Polim, Cut Nya` Dhien, Teuku Umar, Cut Meutia, dan lain-lainnya. Akhir
kalam, sepanjang riwayatnya, Kesultanan Aceh Darussalam telah dipimpin lebih
dari tigapuluh sultan/ratu. Jejak yang panjang ini merupakan pembuktian bahwa
Kesultanan Aceh Darussalam pernah menjadi peradaban besar yang sangat
berpengaruh terhadap riwayat kemajuan di bumi Melayu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kerajaan
Aceh di perkirakan berdiri pada tahun 1511 M, dengan raja pertamanya Sultan Ali
Mughayat Syah (1514-1528). Pada masa pemerintahannya kerajaan Aceh berkembang
selama empat abad, sampai Belanda mengalahkannya dalam perang Aceh (1873-1912).
Sultan
Iskandar Muda (1607-1636) adalah pengganti Sultan Ali Mughayat Syah, yang pada
masa pemerintahannya Aceh mengalami puncak kejayaannya. Ia berhasil menaklukkan
Semenanjung Malaka Yakni : Pahang, Kedah, Perlak, Johor, dan sebagainya.
Kehidupan
ekonomi yang utama masyarakat Aceh pelayaran dan perdagangan. Aceh juga
penghasil Lada dan Timah, sehingga perdagangan-perdagangan Barat bisa membeli
Lada dari Aceh.
Salah
satu masjid terindah di Indonesia adalah Mesjid Baiturrahman yang dibangun pada
masa Sultan Iskandar Muda.Mesjid ini pernah dibakar dan dikuasai oleh Belanda
pada masa perang Aceh. Namun dibangun kembali pada tahun 1875
Aliran
Ahli Sunnah Waljama’ah adalah aliran agama terbesar dalam islam, mengaku
sebagai pengikut tradisi Nabi Muhammad Saw. Aliran Syiah adalah pengikut Ali
Bin Ani Thalib, sekarang salah satu aliran besar dalam agama islam yang
menyakini kepemimpinan (imamah) Ali dan keturunannya setelah Nabi.
B. Saran
Melalui
tulisan yang sederhana ini di harapkan agar pembaca dapat memahami tentang
sejarah kerajaan Aceh dan dapat mempelajarinya.
Diharapkan
kepada Generasi Muda dan Mudi sebagai generasi penerus bangsa ke depan ini,
hendaklah mempelajari sejarah, karena dengan mempelajari sejarah kita bisa
dapat mengetahui kejadian-kejadian yang terjadi pada masa lampau, dan dapat
dijadikan sebagai pedoman hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Ari
L, Dwi, dan Leo Agung. 2004. Sejarah Untuk SMA Kelas XI. Jakarta: Media Tama
Heru
P, Eko dkk. 2006. Sejarah Untuk SMA Kelas XI. Jakarta : CV Sindhunata.
Amiruddin
M, Hasbi. 2006. Aceh dan Serambi Mekkah. Banda Aceh : Yayasan PeNA
http://afnanidolasamalanga.blogspot.co.id/2016/11/makalah-kerajaan-aceh.html
makasih yah refrensinya..
BalasHapus